Day 1: Meredam Rindu di Asakusa dan Tokyo Sky Tree

Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, setelah melalui perjalanan penuh cerita antara Indonesia – Jepang, dan saat menuju Hon- Komagome, sampailah aku di Tiger House. Sudah tak asing dengan bangunan ini, karena saat mbak Aini menyiapkan keberangkatannya ke Jepang, ia sudah sering membuka website Tiger House. Rumah minimalis ini akan menjadi tempat tinggalku selama 3 hari 2 malam di Tokyo sebelum bertolak ke Ibaraki.

Setelah menaruh barang, aku mengambil jaketku, dan pinjam sandal gunungnya mbak Aini. Hehe... Mbak Aini tanya “yakin mau pakai sandal? Dingin lo”. Ini mbak yang sudah 1 bulan lebih di Jepang bilang dingin, tapi akunya maksa, sengaja mengadaptasikan diri. Sesuatu banget hari pertama ini, benar-benar ingin buat tubuh kembali pada tahun 2013, saat menghadapi winter di Kumamoto.

Setelah mbak Aini melihat jadwal di HyperDia, ternyata ada bus yang mengarah ke Asakusa, tanpa transit. Setelah membandingkan antara bus dan kereta, ternyata bus lebih efektif dari segi waktu dan biaya. Berangkatlah kami ke halte terdekat. Jangan bayangkan haltenya seperti di Indonesia, disini paling sukanya nyaman, ada tempat duduknya, dan ada jadwal keberangkatan yang ontime. Ontime banget? Mostly iya. Tapi pernah menemukan yang telat,  hanya saja tidak lebih dari 5 menit. Sembari menunggu dalam kedinginan, aku sudah merasakan ada respon tubuh, tanda-tanda bakal sentrap sentrup nih. Alhamdulillah benar, mulai meler. Berdasarkan pengalaman, kalau sudah meler di awal, esok harinya sudah teradaptasi.

Saat duduk di kursi yang berada di halte, ada beberapa orang yang berlalu lalang. Dua orang sudah sepuh atau lanjut usia bepergian sendiri, mereka memakai kursi roda yang seperti sepeda. Aku suka berpikir, kemana keluarganya? Aku ingat perbincangan dengan sensei saat pulang dari Ichiban sushi di Kumamoto, kalau sudah menikah, sudah menjadi kewajiban mereka untuk berpisah rumah dengan orang tuanya. That's why orang tuanya hidup sendiri, maksudnya mandiri. “Sering kan lihat mereka berjalan sendiri, atau bertemu di supermarket sendiri?” kata beliau jika ditranslate ke bahasa Indonesia. “But, not at all” dia menambahkan.
(1) Suasana di bus (2) Saat di Halte (3) Free wifi alhamdulillah

Free wifi lagi....
Alhamdulillah bus datang ontime. Aku segera masuk kedalam bus, mengambil tiket bus ketika akan masuk ke bus. Awalnya aku berdiri, lalu di halte berikutnya ada yang turun, dan aku memanfaatkan kursi tersebut. Aku kaget saat membaca tulisan disampingku, “FREE WIFI”. Ya Allah, wifi ya Allah, terima kasih.hihi...aku kegirangan, sebagai slingpacker (karena pakai slingbag) yang tidak mau membeli wifi portable atau SIM baru, free wifi adalah anugerah terindah yang dikirimkan Allah. Kemudian aku mencoba menyambungkan wifinya ke HP, alhamdulillah berhasil. Jujur, ini pertama kalinya menemukan free wifi di bus, kalau di tempat umum atau kereta sudah pernah sebelumnya. Aku enjoy sepanjang perjalanan menuju Asakusa. Alhamdulillah, bisa terkoneksi dengan Indonesia. Didalam bus, aku menghabiskan tisunya mbak Aini. Mbak Aini tanya “kamu ga papa Vita?” , “ga papa Mbak, emang gini kok, ntar malam udah ga” antara ngeyel dan yakin. Alhamdulillah cukup beberapa menit saja melernya dan setelah itu alhamdulillah sehat kembali. So, buat teman-teman yang beradaptasi dengan iklim, coba lihat trendnya, maksudnya kalau pernah mengalami winter, bagaimana respon tubuh. Sekadar sharing, dulu waktu winter di Kumamoto, pernah sampai minus dan merah-merah di badan serta meler, tapi itu hanya semalam, besoknya fit kembali. Makanya saat sekarang terjadi lagi, sudah tau kalau hanya penyesuaian.
(1) Area perbelanjaan di Asakusa (2) Ada mie ramen halal disini

Asakusa...yang merindukanmu datang...
Alhamdulillah, sekitar 30 menit perjalanan akhirnya kami sampai di halte Asakusa. Nah, perihal biaya sudah tak terpikirkan karena ada SUICA, kartu simpel banyak manfaat.hehe...Namun, kalau mau membayar cash, bus dari Hon-Komagome ke Asakusa sekitar 215 yen. Perjalanan dimulai, kami meniatkan malam ini jalan kaki, agar bisa menikmati pemandangan. Eaaa...ini mah ngirit sebenarnya.
Keep walking....

Sayangnya, kawasan pertokoan di Asakusa sudah banyak yang tutup, karena kami sampai sana sekitar jam delapan lebih. Tapi tak apa, malah alhamdulillah ya Allah, ga kalap.hehe.. Kami menyusuri area wisata belanja di Asakusa, lalu menuju Sensoji temple atau Kuil Sensoji. Kuil budha tertua di Tokyo, dibangunnya abad ke 6. Kata orang, sebutan lain kuil ini adalah Kannon Asakusa. Malam ini banyak yang berdoa, mereka baru pulang kantor sepertinya atau sekadar jalan dan mampir. Alhamdulillah cukup tau tentang kuil ini, dan panorama malam lah yang kami dapatkan. Tetap tenang meski dalam keramaian. Nuansa merahnya itu loh, cantik.
Pemandangan Sensoji temple di kala malam

Banyak anak muda Jepang yang bermain seperti ramalan, eh ramalan atau apa ya yang didekat kuil, ketika aku lihat memang seperti ramalan, tulisannya full japan. Kemudian kami menyusuri Nakamise-dori, dan hanya segelintir toko yang menjajakan souvenir. Sayang harganya tidak ramah dikantong, ada yang ramah tapi pikir-pikir, baru hari pertama.hehe...ini ngeles doang sebenarnya, karena tau sakunya sedikit harus pintar-pintar mengatur keuangan.hehe...Pesanku, kalau sahabat semua sudah suka pada suatu barang di sini, beli saja, daripada nyesel karena pas balik barangnya sudah habis atau lupa tokonya yang mana, yang penting atur budget saja.
Area Sensoji temple dan Nakamise street

Aku dan mbak Aini berbeda arah dari turis lain. Kalau pengunjung lain, dari stasiun Asakusa, ke gerbang Kaminarimon, Nakamise street lalu kuil Sensoji, dan kami berjalan sebaliknya. Dibanding kuilnya, di Kaminarimon lebih ramai, hehe..bahkan harus antri saat berfoto. Alhasil, wefie sajalah, menghemat waktu.hehe..
Kaminarimon gate 

Menyusuri Sumida river...
Setelah menikmati kedamaian di area kuil Sensoji, kami berjalan kaki dari stasiun Asakusa menuju jembatan ke arah Tokyo Sky Tree. Kami bermodalkan google maps. Kalau dari google maps jaraknya tak sampai 2 km, akhirnya kami memilih berjalan dan menikmati kota. Tersesat atau tidaknya entahlah. 
(1) View dari jembatan Sumida river (2) Peta area Sumida river (3) Disalah satu art corner (4) Patung cendol

Kami berjalan hingga menemukan jembatan. Ini engineering banget ya Allah, maksudnya dipinggir jembatan ada keterangan konstruksi jembatannya, lalu detailnya. Oh ini Sumida-river...gumamku. Kami menikmati Tokyo Sky Tree dari jembatan ini. Indah ya...menikmati perahu yang melintas, kerlap kerlip lampu kota dan gedung tinggi, hingga kereta yang melintas di Sumida river, bonus angin malam yang membuatku termenung. Ya Allah, alhamdulillah..2014 hanya bisa memandang dari hotel, dan 2 tahun kemudian dikembalikan ke Tokyo untuk melihat secara dekat. Jika kau punya mimpi, mohonlah kepada Allah, kawan.

Pemandangannya keren, apalagi untuk fotografi, sayangnya kami hanya membawa HP untuk mengabadikan setiap momen kenangan. Alhamdulillah..kami melihat peta yang ada di taman samping jembatan, katanya ini adalah Art corner, banyak patung dan ada patung besar diatas gedung mirip “cendol” tapi entah kenapa terkenal. Aku dan mbak Aini main tebak-tebakan, kenapa patung “cendol” ini terkenal.hmm..

Setelah menyusuri Sumida river, Tokyo Sky Tree semakin terlihat dekat. Di google maps  diinstruksikan  belok kiri, dan kami berjalan terus saja, eh..ternyata memang benar yang diarahkan maps. Ternyata jalan yang kami pilih lebih jauh sedikit.Di sebuah persimpangan kami mendapati kenyataan, kalau dari jembatan Sumida tadi belok kiri, sebenarnya jalannya hanya lurus. Tak apa, kan jalan-jalan..eaa...hehe..Kami terus menikmati perjalanan hingga suatu titik menemukan seperti patung yang unik. Uniknya itu, kami berdua sedang menebak ini fungsinya apa. Eh..setelah mendekat, tempat duduk saudara-saudara...
(1) Papan arah yang membantu perjalanan kami (2) Tarif parkir (3) Patung aneh yang ternyata tempat duduk (4) Informasi jembatan yang melintas Sumida river

Tokyo Sky Tree..ku jemput kau dengan ijin Allah...
Kami terus berjalan mengikuti arahan maps dan memeprhatikan rambu jalan raya. Tak terasa kami sudah lebih dari 2 km berjalan menyusuri perumahan sampai beberapa proyek pembangunan. Hehe.. Alhamdulillah setelah merasa tersasar, sampailah kami di area Tokyo Sky Tree. Kalian tau apa yang pertama kali dalam benakku? “Ya Allah, terkadang sesuatu yang kita lihat indah dari kejauhan, setelah didekati menjadi seperti biasa, oh ini. Sungguh hamba-Mu ini banyak permintaan ya Allah, maafkan”

Satu hikmah tentang cara memandang adalah yang pertama kali terlintas saat sampai di Tokyo Sky Tree. Sepanjang jalan di area Tokyo Sky Tree sedang ada illumination atau lampion. Waktu menunjukkan jam 10 malam, dan mbak Aini mengecek jadwal kereta masih aman sampai tengah malam. Matur suwun sanget mbak e udah nurutin pengennya adiknya jalan-jalan...huhu...
(1) View Tokyo Sky Tree di jembatan sungai Sumida (2) Di bawahnya Tokyo Sky Tree

Alhamdulillah, Allah kembali menghadirkan pembelajaran. Kalian bisa menebakkah aku dipertemukan dengan siapa? Alhamdulillah kami dipertemukan dengan salah satu keluarga imam masjid di Tokyo yang membawa 2 putra putri lucunya. Sholehah dan sholeh ya nak.. Akupun menyapa dan bertanya, apakah benar orang Indonesia beliau-beliau ini. Alhamdulillah iya dan kamipun berbincang. Kami sharing dengan istri yang mengantarkan imam tersebut. Istrinya berniqab, masyaallah.. ya Allah, malam ini Engkau ajarkan aku tentang keistiqomahan.

Aku bertanya, "berniqab di Jepang sudah lamakah?". Kata beliau, beliau menemukan keyakinannya justru di Jepang, dulunya berlum berniqab, setelah beberapa bulan di Jepang, baru ia mantab. Ya Allah... istiqomahkanlah aku dijalan-Mu. Kemudian kami juga bercerita mengenai reaksi masyarakat melihat beliau, pengalaman mengenakannya. Beliau bilang nyaman, dihormati serta dijaga oleh Allah. Beliau juga bercerita disini mengikuti suaminya. Meleleh ya Allah...hingga akhirnya mereka pamit pergi terlebih dahulu untuk mengantarkan ke Bandara.
(1) Keluaga salah satu imam di Tokyp (2) Putri kecilnya nan sholihah (3-4) Illumination disepanjang jalan Tokyo Sky Tree (5) Papan informasi di area Tokyo Sky Tree

Alhamdulillah, banyak yang bisa diambil hikmahnya malam ini, serta pertemuan yang pasti telah Allah rencanakan, menjadikan pembelajaran untukku agar tetap pada identitas muslimah dimanapun aku berada. Allah...begitu indah rencana-Mu, yang aku hanya berharap bertemu mimpiku 2 tahun yang lalu, tapi Engkau pertemukan aku dengan orang-orang yang senantiasa untuk berada dijalan-Mu.

Aku dan mbak Aini kemudian juga memutuskan pulang tanpa naik ke atas Tokyo Sky Tree. Bagiku, cukup tau dan bisa menjejak itu sudah lebih, apalagi aku memikirkan masalah budget, in syaa Allah nanti kembali lagi sama yang tercinta, baik Ibu atau Adik, atau suami.eh...aamiin ya Allah...

Kami menikmati tengah malam bersama lampu-lampu harapan yang terus menyala terang sepanjang jalan menuju stasiun Oshiage Tokyo Sky Tree. Sesampainya di stasiun Oshiage, aku memperhatikan insfrastrukturnya, dan aku tertarik dengan saluran drainase di stasiun ini. Walaupun underground, saluran drainasenya tetap terjaga, bersih dan berfungsi dengan baik.
Saluran drainasenya masih berfungsi dengan baik dan hanya air yang lewat, bukan sampah...

Alhamdulillah, perjalanan hari pertama ditutup dengan indah. Kami memutuskan pulang dengan kereta hingga Hon-Komagome. Di dalam kereta masih ramai orang, dan di keretalah aku merenungi satu persatu yang terjadi hari ini. Tetapkan aku dijalan-Mu, selalu, ya Allah...semoga masih ada kesempatan hari esok untuk senantiasa memperbaiki diri..
***

*Winter Course Story
2. Day 1: Perjalanan Narita ke Hon-Komagome
3. Day 1: Meredam Rindu di Asakusa dan Tokyo Sky Tree

Ditulis ulang dari buku diary selama di Jepang
Tokyo, 9 Desember 2016
Vita Ayu Kusuma Dewi

Comments